Penulis: Diana Nofalia, S.P | Aktivis Muslimah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA–Jepitan tarif pajak belum berakhir. Setiap jengkal kehidupan rakyat seperti tak luput dari jeratan tarif pajak, walaupun rakyat menjerit dit tengah-ekonomi yang semakin menghimpit. Negeri yang kaya dengan sumberdaya alam tapi pendapatannya diambil dari keringat dan tetesan darah rakyatnya. Ironis bukan?
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias Undang-Undang (UU) HPP tak hanya mengatur kenaikan Pajak Pertambahan Nilai menjadi 12 persen pada 2025. Beleid ini juga mengatur kenaikan tarif PPN atas kegiatan membangun rumah sendiri (KMS) dari yang sebelumnya 2,2 persen menjadi 2,4 persen per 1 Januari 2025.
Membangun rumah sendiri adalah kegiatan mendirikan bagunan yang dilakukan oleh orang pribadi dan bangunan tersebut digunakan sendiri atau oleh pihak lain. Artinya, bangunan yang didirikan tidak digunakan untuk kegiatan usaha atau pekerjaan apapun.
Tarif PPN membangun rumah sendiri diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61/PMK.03/2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri.
“Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20% (dua puluh persen) dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak,” demikian tertulis di Pasal 3 ayat (2) PMK Nomor 61 Tahun 2022 tersebut, sebagaimana dikutip Tirto Jumat (13/9/2024).
Artinya, dengan tarif PPN 11% yang saat ini berlaku, maka saat wajib pajak (WP) membangun rumah sendiri akan dikenakan PPN sebesar 2,2 persen (20 persen x tarif PPN 11 persen).
Dengan demikian, seperti ditulis tirto.id, jika per Januari nanti pemerintah mengerek PPN menjadi 12 persen, PPN atas KMS akan menjadi 2,4 persen (20 persen x tarif PPN 12 persen).
Tidak semua rumah yang dibangun atau direnovasi sendiri akan dikenakan tarif PPN 2,4 persen. Pada Pasal 2 ayat (4) dijelaskan, rumah yang dikenai PPN adalah bangunan yang berdiri di atas bidang tanah dan/atau perairan dengan konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/ atau baja.
Selain itu, bangunan diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha. Luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi).
Akan tetapi, dengan naiknya tarif pajak dan bertambah banyak jenisnya tentu akan semakin mencekik rakyat.
Penerapan sistem ekonomi kapitalisme membuat rakyat susah memiliki rumah. Pekerjaan yang tersedia tidak memungkinkan rakyat bisa membangun rumah yang memadai. Sementara rakyat yang bisa membangun rumah yang memadai atau layak, dikenai pajak yang makin tinggi.
Tampak tidak ada upaya negara meringankan beban rakyat, apalagi dengan adanya penetapan pajak rumah. Besaran pajak rumah berupa nilai tertentu sebesar jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun dalam setiap masa pajak sampai dengan bangunan selesai, tidak termasuk biaya perolehan tanah sesuai dengan ketetapan negara. Nyatalah negara lepas tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan papan/perumahan masyarakat.
Sistem ekonomi kapitalisme sangat lemah karena menjadikan pajak sebagai pemasukan utama. Sistem ini jelas membebani rakyat. Rakyat diwajibkan bayar pajak, tapi di sisi lain negara abai terhadap kehidupan rakyat yang serba sulit. Lapangan kerja yang minim dan biaya kebutuhan pokok yang makin meningkat drastis.
Berbeda jauh dengan sistem Islam. Islam memiliki aturan yang kompleks dan berkeadilan, termasuk aturan mengenai pajak. Ada empat ketentuan tentang pajak dalam sistem Islam yaitu:
Pertama, pajak bersifat temporer. Tidak bersifat kontinu dan hanya boleh dipungut ketika di Baitul Mal tidak ada harta atau kurang.
Kedua, pajak hanya dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum Muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih. Pembiayaan itu adalah pembiayaan jihad dan berkaitan dengannya, pembiayaan dan pengembangan industri militer ataupun industri pendukungnya, pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pokok fakir miskin dan Ibnu Sabil, pembiayaan untuk gaji pegawai negara (tentara, hakim, guru, dan lain sebagainya), pembiayaan atas kemaslahatan atau fasilitas umum yang jika tidak diadakan akan menyebabkan bahaya bagi umat, pembiayaan untuk penanggulangan bencana dan kejadian yang menimpa umat.
Ketiga, pajak hanya diambil dari kaum Muslim dan tidak dipungut dari non-Muslim. Sebab, pajak dipungut untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban kaum Muslim, yang tidak menjadi kewajiban non-Muslim.
Keempat, pajak hanya dipungut dari kaum Muslim yang kaya, tidak dipungut dari selainnya. Orang kaya adalah orang yang memiliki kelebihan harta dari pembiayaan kebutuhan pokok dan kebutuhan lain bagi diri dan keluarganya menurut kelayakan masyarakat sekitar.
Kelima, pajak hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan, tidak boleh lebih.
Ketentuan pajak sesuai dengan aturan Islam seperti inilah yang tentunya dapat memberikan ketenangan bagi masyarakat ekonomi lemah. Betapa banyak masyarakat yang kepayahan dengan aturan pajak yang makin hari makin naik.
Pajak antara si miskin dan yang kaya bisa dikatakan tidak ada bedanya. Di sisi lain, dalam sistem kapitalis pajak dipungut secara terus menerus seakan rakyat tak punya ruang untuk bernafas dari rentetan jenis pajak yang menghimpit mereka.
Penerapan sistem ekonomi Islam menjamin kesejahteraan. Negara menyediakan pekerjaan dengan gaji yang layak. Negara juga menjamin kebutuhan papan/perumahan masyarakat antara lain melalui kemudahan atas akses pekerjaan dan adanya hukum-hukum terkait tanah seperti larangan penelantaran tanah, dan lain sebagainya.
Sementara itu, negara memiliki sumber pendapatan yang berasal dari kepemilikan umum, sehingga tidak butuh pajak. Apalagi Islam anti membebani rakyatnya dengan pajak kecuali pada kondisi tertentu dan terbatas pada rakyat yang kaya.
Dengan demikian, hanya aturan Islamlah yang bisa memberi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Bukan aturan kapitalisme buatan manusia yang berpijak pada kepentingan individu ataupun kelompok.
Aturan ini jika diterapkan – bukan hanya kaum Muslimin yang diuntungkan, bahkan non-Muslimpun akan diuntungkan. Di sinilah konsep aturan Islam sebagai rahmatan lil a’lamin akan tercipta. Wallahu a’lam.[]
Bagikan di media sosialmu
Oleh: Aqila Farisha (Aktivis Muslimah Kal-Sel)
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Membangun rumah sendiri yaitu kegiatan mendirikan bangunan yang dilakukan oleh pribadi. Pemerintah telah menetapkan, membangun rumah sendiri akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Per 1 Januari 2025, PPN akan naik dari 2,2℅ menjadi 2,4%. Hal ini sejalan dengan kenaikan PPN sebesar 11% menjadi 12% pada tahun depan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 61/PMK.03/2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri telah mengatur tarif PPN membangun rumah sendiri secara rinci (CNBC Indonesia, 14/9/2024).
Di dalam aturan tersebut mencakup perluasan bangunan lama, bukan hanya pendirian bangunan baru. PPN tidak dikenakan pada semua rumah yang dibangun atau direnovasi sendiri. Pasal 2 ayat (4) telah menjelaskan bahwa rumah yang dikenai PPN adalah bangunan yang berdiri di atas bidang tanah dan/atau perairan dengan konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja. Paling sedikit “200 meter persegi” untuk luas bangunan yang dibangun (Harian Umum, 13/9/2024).
Sulitnya kepemilikan rumah pada dasarnya merupakan akibat penyebaran kepemilikan harta yang berat sebelah. Sebagian orang bisa mempunyai banyak rumah, sedangkan yang lain tidak mempunyai rumah. Selain itu, distribusi tanah juga sangat timpang. Berdasarkan data BPS, jumlah rumah tangga yang belum punya rumah dalam lima tahun terakhir mencapai belasan juta.
Data ini menunjukkan betapa timpangnya kepemilikan rumah di Indonesia. Ketimpangan ini merupakan hal yang tidak terelakkan dalam sistem kapitalisme, karena dalam kapitalisme para pengusaha yang bermodal besar dapat menguasai tanah sebanyak-banyaknya. Negara bahkan memberikan kemudahan pada perusahaan properti sehingga mereka dengan leluasa menguasai tanah. Sebaliknya, rakyat kecil sangat sulit memiliki rumah.
Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan saat ini menyebabkan harga rumah, tanah, dan material bahan bangunan sangat mahal. Sistem ini juga gagal menyediakan lapangan pekerjaan dengan upah yang layak. Akibatnya, rakyat kesulitan untuk membangun rumah yang layak. Sementara itu, rakyat yang bisa membangun rumah yang layak justru dikenakan pajak yang tinggi oleh pemerintah.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak berusaha untuk meringankan beban rakyat agar bisa mempunyai rumah. Pemerintah malah terlihat lepas tangan dari tanggung jawab menyediakan rumah bagi rakyat. Padahal rumah merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh negara. Jangankan membantu rakyat untuk memenuhi kebutuhan rumah, pemerintah justru berusaha menarik dana rakyat dari berbagai sisi.
Selama ini rakyat sudah dikenai PPh, PPN, PBB, PKB, maupun pajak lainnya. Akan tetapi, pemerintah masih saja melakukan perluasan pajak demi menambah pemasukan negara. Sungguh, negara sudah mengambil uang rakyat dengan paksa atas nama pajak. Di sisi lain, kekayaan alam diserahkan secara cuma-cuma pada korporasi swasta.
Sungguh jaminan penyediaan rumah hanya ada dalam sistem Islam. Sistem ekonomi Islam menjamin kesejahteraan rakyat secara perorangan. Negara Islam menyediakan lapangan pekerjaan yang luas bagi rakyat dengan gaji yang layak. Sehingga rakyat hidup sejahtera dan bisa memenuhi kebutuhannya.
Dalam sistem Islam, negara juga menjamin kebutuhan papan masyarakat dengan membuat kebijakan yang memudahkan untuk memiliki rumah. Kebijakan tersebut yaitu dengan penerapan sistem ekonomi Islam, yang mewujudkan stabilitas harga rumah, tanah, dan material bahan bangunan. Islam juga menyediakan rumah subsidi untuk rakyat dengan menyediakan rumah murah atau bahkan gratis. Negara juga bisa menyubsidi biaya pembangunan rumah, agar rakyat yang punya tanah bisa lebih mudah membangun rumah.
Adapun mengenai tanah, dalam Islam terdapat rakyat bisa memiliki tanah secara gratis sekaligus legal. Hal ini karena Islam mempermudah rakyat memiliki tanah dengan penerapan hukum seputar tanah yaitu : Pertama, tidak boleh ada tanah yang terlantar, melainkan harus dikelola. Tanah akan disita negara dan diberikan pada yang membutuhkan apabila ditelantarkan selama lebih dari tiga tahun. Dengan aturan ini, tidak akan ada orang yang menguasai tanah tetapi ditelantarkan.
Kedua, dorongan menghidupkan tanah mati. Tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan siapa pun itu lah namanya tanah mati. Dengan menghidupkan tanah mati, maka rakyat bisa memiliki tanah. Mereka hanya perlu tenaga untuk menghidupkan tanah mati.
Ketiga dorongan melakukan pemagaran. Pemagaran adalah salah satu cara untuk menghidupkan tanah mati. Rakyat bisa memiliki tanah dengan memagari tanah yang terlantar.
Keempat, kebijakan iqtha’. Iqtha’ adalah pemberian tanah oleh negara kepada rakyat. Negara dapat memberikan tanah kepada rakyat untuk dibangun rumah.
Dengan semua kebijakan ini, rakyat akan mudah untuk memiliki rumah. Jika membeli, harganya murah, bahkan bisa gratis. Negara menyediakan tanah dan bisa diperoleh tanpa mengeluarkan biaya apabila ingin membangun rumah sendiri. Material bahan bangunan juga dapat diperoleh dengan murah karena ada subsidi dari negara.
Negara memiliki banyak sumber pendapatan yang berasal dari kepemilikan umum seperti tambang, hasil laut, hasil hutan, dan lainnya. Pendapatan negara dari kekayaan alam tersebut sangat besar sehingga mampu memenuhi kebutuhan rakyat. Negara dalam Islam tidak akan membebani rakyatnya dengan pajak, kecuali pada kondisi tertentu dan terbatas pada rakyat yang kaya serta dari kalangan kaum laki-laki saja. Seperti inilah jaminan kesejahteraan dalam Islam yang memastikan setiap rakyat memiliki rumah. Wallahualam bissawab.
Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) membangun rumah sendiri atau tanpa kontraktor bakal naik dari saat ini sebesar 2,2 persen menjadi 2,4 persen mulai tahun depan.
Kenaikan PPN membangun rumah sendiri ini sejalan dengan rencana kenaikan PPN secara umum dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 2025 sejalan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
"Tarif PPN sebesar 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025," tulis Pasal 7 UU HPP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun tarif PPN membangun rumah sendiri saat ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri.
Dalam beleid itu, besaran tarif pajak apabila membangun rumah sendiri ditetapkan sebesar 20 persen dari PPN secara umum. Artinya, apabila PPN naik menjadi 12 persen di 2025, maka tarif pajak membangun rumah sendiri jadi 2,4 persen.
"Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20 persen dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak," tulis beleid tersebut.
Kegiatan membangun yang dimaksud dalam aturan ini, termasuk perluasan bangunan lama, bukan hanya yang baru. Namun, tak semua dikenakan PPN, hanya yang memenuhi syarat saja, yakni:
1. Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;2. Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan3. Luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200 meter persegi.
Dengan demikian, bagi masyarakat yang ingin membangun sendiri tapi luasnya di bawa 200 meter persegi, tak perlu khawatir karena tak akan dikenakan PPN.
Negara yang menerapkan sistem Islam akan menjamin kebutuhan papan atau perumahan bagi rakyat, antara lain melalui kemudahan atas akses pekerjaan dan adanya hukum tentang pertanahan. Seperti larangan penelantaran tanah, ihya al mawat, tahjir dan iqtha’ juga larangan untuk mengambil pajak.
Oleh Sulistijeni(Pegiat Literasi)
JURNALVIBES.COM – Hampir setiap jengkal kehidupan rakyat yang hidup di negeri ini dikenai pajak, termasuk membangun rumah sendiri yang diwacanakan akan dikenai pajak. Pemerintah telah menetapkan aturan bahwa membangun rumah sendiri akan dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Seperti yang dirilis kompas (15-9-2024) dalam undang-undang (UU) nomor 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan ditahun 2022 PPN sebesar 11%, di tahun 2025 akan disesuaikan PPN menjadi 12 %. PPN ini telah ditetapkan didalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.30/2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri. Ini juga termasuk pembelian rumah hingga membangun rumah sendiri tanpa kontraktor.
Sementara itu melansir dari tirto (13-9-2024), tarif PPN saat ini 11%, wajib pajak yang membangun rumah sendiri akan dikenakan PPN sebesar 2,2% (20% x tarif PPN 11%). Untuk per Januari 2025 pemerintah akan menaikkan PPN menjadi 12 %, PPN atas KMS menjadi 2,4 % (20% x tarif PPN 12%). Menurut cnnindonesia.com 15/9/2024 kegiatan membangun rumah sendiri tersebut mencakup perluasan bangunan lama, tidak hanya pendirian bangunan baru. Termasuk juga kontruksi bangunan utamanya yang terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau sejenisnya. Bangunan tersebut digunakan sebagai tempat tinggal atau sebagai usaha, dan luas bangunannya ditentukan minimal 200 meter persegi.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah pasangan keluarga yang belum punya rumah dalam lima tahun terakhir mencapai belasan juta. Kebanyakan mereka tinggal di rumah kontrakan, rumah orang tua atau menumpang pada keluarga lain. Pada tahun 2021 sebanyak 14,3 juta pasangan keluarga tidak tinggal di rumah sendiri karena belum mempunyai rumah. Jadi sebanyak 18,9 % tidak mempunyai rumah dari total pasangan keluarga di Indonesia yang jumlahnya sekitar 75,6 juta. Wilayah Jakarta menempati posisi tertinggi di Indonesia sebagai wilayah yang pasangan keluarganya belum memiliki rumah sendiri.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, rakyat semakin susah untuk mempunyai rumah sendiri. Ini akibat dari lapangan pekerjaan yang tersedia tidak memungkinkan rakyat untuk bisa membeli rumah dan membangun rumah yang memadai. Sementara rakyat yang bisa membangun rumah sendiri yang memadai atau layak akan dikenai pajak yang semakin tinggi.
Apalagi tidak ada upaya dari negara untuk bisa meringankan beban rakyat, malah dengan ditetapkannya pajak untuk pembangunan rumah sendiri hidup rakyat akan semakin susah. Dengan diberlakukannya pajak pada pembangunan rumah sendiri, semakin menambah beban rakyat, dan semakin mustahil rakyat untuk memiliki rumah yang layak. Karena akan semakin besar biaya yang dikeluarkan dengan melihat besaran pajak untuk pembangunan rumah. Yaitu berupa nilai tertentu yang besarannya sebesar jumlah biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan, untuk membangun bangunan rumah dalam setiap masa pajak hingga sampai bangunan selesai. Belum ditambah dengan biaya perolehan tanah yang harus sesuai dengan yang ditetapkan negara.
Dalam sistem ekonomi kapitalis pemerintah sangat getol dengan memberlakukan pajak, karena pajak merupakan sumber pendapatan utama negara. Setiap tahunnya pemerintah akan terus berusaha untuk selalu menaikkan pajak, begitu juga dengan menambah subjek dan objek pajak yang akan terus diperluas. Ini menandakan rakyat akan semakin dipaksa untuk membayar pajak dan semakin sengsara.
Dari sini tampak nyata bahwa negara lepas tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan papan atau perumahan bagi rakyat. Penetapan pajak adalah sebuah keniscayaan karena sumber pendapatan negara kapitalisme berasal dari pajak. Tragis memang, dengan mengatasnamakan pajak negara, mereka terkesan mengambil uang rakyat dengan secara paksa.
Sedangkan fakta lain, para pengusaha besar diberikan keringanan dalam pembayaran pajak. Ini jelas menunjukkan tidak adanya keadilan dalam sistem kapitalis, yang tega memalak rakyat dari segala lini dengan mengatasnamakan pajak, juga dalam hal membangun rumah sendiri. Tampak sekali bahwa dalam sistem kapitalis, negara tidak pro rakyat karena mereka bukan bersikap selayaknya pelindung tetapi justru memalak rakyat dari segala sisi.
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang menjamin kesejahteraan bagi rakyat. Karena dorongannya adalah ketakwaan, bukan untuk mendapatkan keuntungan. Negara akan menyediakan pekerjaan yang layak bagi rakyat dengan gaji yang layak. Dengan demikian rakyat akan mampu membeli rumah dan bisa membangun rumah sendiri yang memadai dan layak, karena rumah merupakan kebutuhan dasar.
Negara yang menerapkan sistem Islam akan menjamin kebutuhan papan atau perumahan bagi rakyat, antara lain melalui kemudahan atas akses pekerjaan dan adanya hukum tentang pertanahan. Seperti larangan penelantaran tanah, ihya al mawat, tahjir dan iqtha’ juga larangan untuk mengambil pajak. Dengan diterapkannya sistem ekonomi Islam maka rakyat akan mudah untuk memiliki rumah. Karena dengan ekonomi Islam harga rumah, tanah, material bahan bangunan akan stabil dan terjangkau serta tidak akan ada pajak.
Apabila rakyat masih tidak mampu dan tidak bisa membeli rumah maka negara akan menyediakan rumah murah atau gratis agar rakyat bisa mempunyai rumah. Untuk yang mempunyai tanah dan kesulitan membangun rumah karena tidak ada biaya, maka negara akan memberikan subsidi biaya untuk pembangunan rumah. Dalam Islam juga ada perintah untuk menghidupkan tanah yang mati agar dimanfaatkan, bisa dengan dibangun rumah. Negara juga akan memberikan tanah untuk dibangun rumah bagi rakyatnya yang tidak memiliki rumah, bisa dengan gratis atau membeli dengan harga murah. Maka dengan demikian tidak akan ada rakyat yang tidak mempunyai rumah, karena sudah dipenuhi dan dijamin oleh negara.
Sementara itu negara yang menerapkan Islam juga memiliki sumber pendapatan yang berasal dari kepemilikan umum, sehingga tidak butuh pajak. Pembebanan pajak bagi rakyat hanya diberlakukan hanya dalam kondisi tertentu, dan itu terbatas pada rakyat yang aghnia. Karena negara akan menjamin semua kebutuhan rakyatnya dan memberikan jaminan kepemilikan rumah bagi rakyatnya. Dananya bersumber dari kepemilikan umum, seperti hasil tambang, hasil laut, hasil hutan dan lain-lain. Sehingga tidak perlu memungut pajak dari rakyatnya karena pemasukan negara sangat besar.
Negara akan memberlakukan pajak pada kondisi tertentu saja dan terbatas diberlakukan pada rakyat yang kaya dari kalangan kaum laki-laki. Maka dengan demikian jaminan kesejahteraan akan didapatkan di setiap rakyat untuk bisa memiliki rumah tanpa adanya pajak. Yang semuanya itu hanya bisa diwujudkan dengan diterapkannya Islam secara kafah dan keseluruhan dalam kehidupan. Wallahu a’lam bishawab. []
Editor: Ulinnuha; Ilustrator: Fahmzz
Photo Source by canva.com
Disclaimer: JURNALVIBES.COM adalah wadah bagi para penulis untuk berbagi karya tulisan bernapaskan Islam yang kredibel, inspiratif, dan edukatif. JURNALVIBES.COM melakukan sistem seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan JURNALVIBES.COM. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email [email protected]
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) membangun rumah sendiri atau tanpa kontraktor akan naik dari 2,2 persen akan menjadi 2,4 persen mulai tahun depan.
Kenaikan itu sejalan dengan rencana kenaikan PPN secara umum dari 11 persen menjadi 12 persen. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
"Tarif PPN sebesar 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025," tulis Pasal 7 UU HPP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tarif PPN membangun rumah untuk sekarang ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri.
Dalam beleid itu, besaran tarif pajak membangun rumah sendiri sebesar 20 persen dari PPN secara umum. Tarif pajak itu pun naik menjadi 2,4 persen karena PPN yang naik ke 12 persen pada 2025.
"Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20 persen dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak," tulis beleid tersebut.
Kegiatan membangun sendiri yang dimaksud di aturan ini turut mencakup perluasan bangunan lama, bukan hanya pendirian bangunan baru.
Namun, tidak semua pembangunan itu dikenakan PPN. Beberapa syarat harus dipenuhi jika kegiatan pembangunan itu dikenakan PPN, sebagai berikut:
1. Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;2. Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan3. Luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200 meter persegi.
Hal itu membuat warga yang ingin membangun rumah sendiri dengan luas di bawah 200 meter persegi tidak perlu khawatir karena tidak akan dikenakan PPN.
LenSa MediaNews__ Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen pada tahun 2025. Ketentuan tersebut diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
“Pasal 7 (1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu: a. sebesar 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022; b. sebesar l2% (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025,” bunyi Pasal 7 Ayat (1) UU tersebut.
Dalam UU itu diamanatkan, tarif PPN dinaikan menjadi 12 persen selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025.
Tarif PPN membangun rumah sendiri diatur secara rinci di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61/PMK.03/2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri. Dimana besaran tarif pajak membangun rumah sendiri sebesar 20 persen dari PPN secara umum. Tarif pajak itu pun akan naik menjadi 2,4 persen karena PPN yang naik ke 12 persen pada tahun 2025 mendatang.
Rumah bukan hanya sekadar bangunan fisik, melainkan juga simbol dari keamanan, kenyamanan, dan identitas. Setiap elemen di dalam rumah mampu mencerminkan kepribadian dan nilai-nilai yang ada pada penghuninya.
Di dalam rumah, individu menemukan ketenangan setelah rutinitas yang padat, menciptakan suasana yang mendukung pertumbuhan pribadi dan interaksi sosial. Dengan demikian, rumah bisa menjadi fondasi yang penting bagi perkembangan emosional dan spiritual setiap individu.
Begitulah penerapan sistem ekonomi kapitalisme nyata membuat rakyat semakin sulit memiliki rumah, ditambah pekerjaan yang tersedia memungkinkan rakyat untuk bisa membangun rumah yang memadai. Di samping itu, rencana mengenakan tarif pajak untuk rakyat yang sudah memiliki rumah yang layak nampak semakin tinggi.
Nyata bahwa negara tidak berupaya untuk meringankan beban rakyat dan berlepas tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan perumahan masyarakat.
Dalam penerapan sistem ekonomi Islam, negara akan menyediakan pekerjaan yang layak dan tentu dengan ujrah yang sesuai layak pula. Negara juga menjamin perumahan masyarakat, serta memaksimalkan perannya dengan mengoptimalkan pendapatan negara yang berasal dari kepemilikan umum, dan memberikan akses pekerjaan kepada rakyat sehingga rakyat tidak terbebani pajak.
Please follow and like us:
Pemerintah tengah menggenjot penerimaan pajak dari sektor properti, salah satunya adalah dengan menetapkan pajak untuk pembangunan rumah sendiri. Bangun rumah sendiri kok kena pajak? Simak pembahasan selengkapnya hanya di detikPagi!
Mulai tahun depan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) membangun sendiri atau tanpa kontraktor bakal naik dari 2,2 persen menjadi 2,4 persen. Mulai 2025 besaran PPN secara umum naik dari yang sebelumnya 11% menjadi 12%. Hal itu sejalan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Pada Pasal 7 HPP disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 12% mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Jika ada kenaikan PPN, maka besaran PPN bangun rumah sendiri juga akan meningkat. Jika besaran PPN tahun depan 12%, maka tarif pajak bangun rumah sendiri naik menjadi 2,4%. Hal itu merupakan hasil perkalian 20% dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai 12%.
Staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menanggapi pemberitaan mengenai penambahan pajak 2,4% bagi masyarakat yang membangun rumah sendiri atau KMS. Menurutnya, pengenaan pajak ini bukanlah pajak baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"PPN atas kegiatan membangun sendiri (KMS) ini sudah ada sejak tahun 1995, diatur di UU No 11 Tahun 1994. Jadi, bukan PAJAK BARU. Umurnya sudah 30 tahun," kata Prastowo dalam cuitan di akun X-nya @prastow, dikutip Selasa (17/9/2024).
Tujuan pengenaan pajak sendiri, agar semua proses pembangunan baik yang dibantu oleh kontraktor maupun sendiri mendapat tanggungan sama.
"Menciptakan keadilan. Karena kalau membangun rumah dengan kontraktor terutang PPN, maka membangun sendiri pd level pengeluaran yang sama mestinya juga diperlakukan sama," ujarnya.
Namun, perlu diperhatikan penambahan pajak ini tidak berlaku pada semua jenis pembangunan. Melainkan terdapat syarat dan ketentuan. Misalnya luas bangunan 200 meter persegi atau lebih baru dikenakan penambahan pajak pembangunan rumah. Dengan demikian, bagi masyarakat yang ingin membangun sendiri tapi luasnya di bawah 200 meter persegi, tak perlu khawatir karena tidak akan dikenakan PPN.
Menanggapi hal tersebut, CEO Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda menilai hal itu akan sedikit mengganggu bagi masyarakat. Walau demikian, menurutnya tidak akan terlalu mengganggu karena yang dikenakan untuk masyarakat kelas menengah ke atas.
"Meskipun agak sedikit mengganggu, tapi menurut saya untuk luas lahan 200 m2 termasuk golongan menengah-atas tidak terlalu berpengaruh," ujarnya kepada detikcom, Jumat (13/9/2024).
Di sisi lain, Konsultan Properti Anton Sitorus menilai dengan naiknya pajak tersebut akan memberatkan masyarakat. Sebab, yang naik tidak hanya pajak bangun rumah sendiri melainkan pajak-pajak lainnya yang bisa mempengaruhi kantong masyarakat.
"Ya kalau pajak-pajak semua naik, kemampuan daya beli orang nggak naik, bisa jadi hambatan. Hambatan buat masyarakat yang nanti ujung-ujungnya ke negara. Kalau kemampuan ekonomi masyarakat berkurang, daya belinya berkurang, volume ekonominya berkurang, akhirnya pemasukan ke negara juga berkurang," paparnya.
Maka dari itu, ia berharap pemerintah untuk mempertimbangkan ulang terkait kenaikan tarif pajak tersebut. Sebab, dengan adanya kenaikan pajak-pajak yang ada bisa menjadi boomerang bagi pemerintah apabila tidak dipertimbangkan kembali.
"Harapannya adalah pajak-pajak ini agar dapat ditinjau kembali, apakah memang patut diimplementasikan dalam kondisi seperti sekarang. Kalau misalnya nggak, mungkin bisa ditunda dulu," pungkasnya.
Saksikan pembahasan lengkapnya hanya di program detikPagi edisi Rabu (18/9/2024). Pada edisi kali ini, detikPagi juga akan mengulas lebih dalam terkait PPN membangun rumah sendiri yang bakal naik menjadi 2,4 persen di 2025 bersama Redaktur detikProperti Dana Aditiasari.
Nikmati terus menu sarapan informasi khas detikPagi secara langsung langsung (live streaming) pada Senin-Jumat, pukul 08.00-11.00 WIB, di 20.detik.com dan TikTok detikcom. Tidak hanya menyimak, detikers juga bisa berbagi ide, cerita, hingga membagikan pertanyaan lewat kolom live chat.
"Detik Pagi, Jangan Tidur Lagi!"